Kamis, 23 Juni 2011

Perempuan Pilihan

Jika menetapkan pilihan adalah keniscayaan hidup maka adanya seleksi menjadi kausalitas dari proses memilih itu. Manusia secara  didaktis akan menyeleksi setiap substansi kehidupan di sekitarnya, termasuk diantaranya adalah melakukan seleksi untuk para perempuan. Mungkin kenyataan ini terlalu misoginis. Namun demikianlah adanya. Seleksi itu memilih perempuan terpilih untuk kemudian menjadi  perempuan pilihan.
Siapakah perempuan pilihan? Dia pernah hidup di sebuah peradaban dan memiliki kekhasan yang membedakan dengan perempuan-perempuan yang hidup di peradaban itu pada umumnya. Mungkin kebanyakan kita tidak mengenal nama Zanubiya. Buku 100 wanita pilihan menulis histori Ratu kerajaan Tadmur itu, sebuah kerajaan kecil di tanah Arab, dengan sangat mengagumkan. Kecerdasan, keberanian wibawa, kecantikan serta keibuannya memenuhi kualifikasi dia sebagai perempuan pilihan.

Perempuan-perempuan pilihan dalam sejarah Islam adalah representasi muslimah dengan kesuksesan perannya. Khadijah ra adalah profil tepat pendamping tokoh besar. Asma Binti Abu Bakar merupakan representasi aktifis perempuan Islam. Aisyah ra sebagai ilmuwan perempuan. Fatimah ra profil anak perempuan, Khansa ra profil mujahidah, Nusaibah adalah ra pejuang perempuan dan tabi’in terpilih lain yang mungkin sedikit bahkan tidak pernah tercatat dalam sejarah Islam.

Satu fakta cukup mengenaskan. Generasi tabi’in perempuan setelah nabi terus mengalami penurunan luar biasa kualitas biogratifnya. Hal ini berlanjut hingga sekarang. Ada apa dengan para muslimah? Salah satu anasirnya adalah penghargaan terbaik untuk perempuan di era nabawaiyah, setelah itu para muslimah banyak yang terjebak dalam polarisasi  nilai yang menyerang zaman ini cukup akut. Ada banyak tangan mempermainkan nilai, sistem bahkan ayat-ayat Al Qur’an sedemikian lihai.

Dipilih sebagai perempuan pilihan memang bukan ambisi kita. Dalam hidup ini kita harus dipilih oleh anak-anak kita dan suami kita. Biarlah biografi  kita hanya abadi di hati orang-orang terdekat kita, itu bukan sebuah masalah. Setidaknya, jika tangan ini tidak akan terhenti sampai mati,kelak anak-anak kita yang akan menyambung kesejarahan dalam diri kita.

Selasa, 21 Juni 2011

Umat yang Tergulung



Sebuah metafora lama masih segar dalam ingatan kita. Alkisah seorang guru memberikan sebuah game untuk para muridnya. Di depan kelas, ia bentangkan sebuah karpet. Kemudian di tengah karpet tadi diletakkan sebuah Al-Qur’an. Sang guru membuat sayembara kepada muridnya: Siapakah yang bisa mengambil Al-Qur’an tanpa menginjak karpet?

Beberapa anak telah mencoba, tetapi gagal. Pada akhirnya sang guru itu menjawab sendiri. Caranya adalah dengan menggulung karpet itu. Karpet digulung hingga Al-Qur’an terjangkau oleh tangan.

Kemudian sang guru memberi penjelasan kepada murid: "Maka begitulah cara para orientalis mengambil Al-Qur’an dari hati umat muslim. Orang-orang kafir itu tidak berani untuk menginjak-injak hati umat muslim untuk merampas Al-Qur’an dengan paksa. Mereka akan mendapatkan perlawanan dengan sangat keras. Mereka akan menggulung sedikit demi sedikit kecintaan umat muslim tentang agamanya yang luas, dan setelah kecintaan itu tersisa sedikit, Al-Qur’an bisa dienyahkan dari pikirannya."

Seperti itu kira-kira metafora yang mungkin sering kita dengar.

*****

Seorang preman pemabuk yang hidupnya bergelimpangan dengan maksiat, namun di KTPnya tertulis agamanya adalah Islam, jangan coba-coba membanting Al-Qur’an di hadapannya. Preman itu akan marah besar. Sekalipun terbiasa dengan maksiat, namun masih ada rasa penghormatan yang tinggi pada simbol-simbol agamanya.

Wajar apabila Panglima Militer Amerika Serikat di Afghanistan, Jenderal David Petraeus, sangat ketakutan dengan rencana Terry Jones yang ingin membakar Al-Qur’an pada peringatan 9 tahun peristiwa 911. "Itu bisa membahayakan pasukan dan itu bisa membahayakan upaya keseluruhan," katanya.

Tapi coba bawa wacana tentang ibadah bersama antara umat Islam dan umat agama lain di hadapan Preman itu, ia tidak akan meresponnya dengan serius. Atau ia akan menganggap masalah itu terlalu berat untuk dipikirkan. Padahal antara membanting Al-Qur’an dengan penyimpangan ajaran Al-Qur’an sama-sama pelecehan yang serius atas kitab yang diturunkan oleh Allah untuk umat Islam. Bedanya, yang satu yang dilecehkan adalah simbol, dan yang satu adalah intinya.

Golongan orang kafir yang tidak senang dengan umat Islam (QS 2:120) lebih banyak menggunakan metode ‘penggulungan’ ini. Mereka menggulung kecintaan umat Islam pada agamanya. Mereka menggulung pemahaman umat Islam atas agamanya. Mereka menggulung penerapan umat Islam pada agamanya.

Bahwa dunia ini dijadikan indah pada pandangan manusia (QS 3:14), orang-orang itu sangat menyadari hal ini. Maka mereka membawa segala bentuk bayangan fatamorgana kepada umat Islam. Mereka membawa film yang menanyangkan artis-artis cantik dan aktor-aktor tampan. Mereka memberi hutang kepada negeri berpenduduk muslim agar rakyatnya konsumtif. Mereka tawarkan berbagai hobi dan kesenangan. Tujuannya adalah agar kecintaan umat Islam pada agamanya terampas. "Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik." Setelah umat Islam mencintai kesenangan kehidupan dunia, maka tidak ada tempat untuk mencintai agamanya. "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya" (QS 33:4)

Mereka juga ikut serta dalam diskusi keislaman dengan membawa pemahaman-pemahaman yang asing. Mereka perkenalkan hermeneutika, metode tafsir yang cocok untuk mengubah perintah dan larangan Allah. Mereka kacaukan aqidah umat dengan ide yang terdengar manis: "Semua agama sama, sama-sama mengajarkan kebaikan". Dengan cara-cara itu mereka menggulung pemahaman umat Islam.

Mereka juga menggulung penerapan umat Islam atas ajaran agamanya. Pada titik ekstrim, seperti di Turki saat awal keruntuhan khilafah Turki Utsmani, mereka melarang adzan & sholat menggunakan bahasa Arab. Tapi ada banyak cara yang terlihat lembut dan elegan. "Serahkan urusan negara pada kaisar, dan serahkan urusan agama pada pendeta" adalah ajaran agama tetangga. Ajaran itu tidak dikenal dalam Islam. Ajaran seperti itu membuat ajaran Islam yang sangat luas dalam ranah muamalah menjadi ide usang yang tidak bisa diterapkan. Mereka biarkan manusia dengan hawa nafsunya membuat hukum sendiri antar sesama manusia, sedangkan aturan Allah swt yang agung terpinggirkan.

"Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas." (QS 6:119)

*****

Rasulullah tahu, karena itu ia mengadu kepada Allah: "Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan."" (QS 25:30).

Non muslim tentu saja akan mengacuhkan Al-Qur’an. Tetapi sebagian dari umat Islam sendiri, rupanya dikeluhkan oleh Rasulullah. Sekali lagi, mereka tidak mengacuhkan simbol. Umat Islam akan meletakkan mushaf tinggi-tinggi, kalau bisa di atas lemari untuk mengagungkan Al-Qur’an. Apabila Al-Qur’an jatuh atau terkena kaki, mereka mencium Al-Qur’an untuk menebus rasa bersalah. Kitab Al-Qur’an mereka oleskan parfum agar wangi. Sedemikian besar penghormatannya.

Tapi ajarannya tidak dijunjung tinggi-tinggi. Hafalan Qur’an sebagian umat Islam sangat timpang dibanding hafalan lagu-lagu populer. Tidak ada Al-Qur’an di otak mereka. Apabila apa yang mereka pahami dari Al-Quran itu "jatuh" karena terlupa atau tidak diterapkan, mereka tidak punya rasa menyesal yang dalam. Dan umat Islam sebagai etalase dari ajaran Al-Qur’an, tidak membuat ajaran Al-Qur’an itu tercium wangi oleh umat lain. Umat lain malah bertanya-tanya kebingungan, "seperti ini kah yang diajarkan Al-Qur’an kepada mereka?"

*****

Saat ini umat Islam sedang digulung, dari berbagai aspek yang mereka miliki. Termasuk kelapangan ukhuwah Islamiyah. Dengan ukhuwah yang sempit, umat Islam saling bertikai sendiri. Jadi, mereka yang memusuhi agama ini tidak perlu "menginjak" umat, tapi mereka merekayasa agar umat saling menginjak satu sama lain.

Tergulung itu tidak terasa, tidak seperti diinjak. Itulah makanya umat Islam diam saja dengan fenomena "tergulung" ini. Mereka lebih punya respon apabila terinjak oleh sesama saudaranya.



http://www.islamedia.web.id/2011/06/umat-yang-tergulung.html

Lima Falsafah Jawa

Ada 5 falsafah jawa yang berguna untuk kita menghadapi perjalanan kehidupan kita :

1. Kukilo (Burung)

2. Wanito (Wanita)
3. Curigo (Waspada)
4. Turonggo (Kuda)
5. Wismo (Rumah)

1. Kukilo (Burung)


Kebanyakan orang jawa selalu memelihara binantang peliharaan, dan kebanyakan pula binatang peliharaan yang umum di rawat adalah burung perkutut. Karena suaranya yang bagus merdu dan menentramkan suasana.

Didalam kehidupan ini kita harus bisa mengikuti burung perkutut, yaitu dengan selalu bersuara yang bagus untuk didengar oleh orang lain, tidak selalu mengeluarkan suara yang bisa menyakiti hati orang lain.

2. Wanito (Wanita)


Wanita secara universal melambangkan kelembutan, cinta kasih, perasaan sayang. Kita hidup didunia pastilah berada ditengah-tengah manusia dan makhluk lainnya.

Kita harus selalu memberikan rasa kelembutan kita, cinta kasih kita dan rasa sayang kita kepada semua makhluk ciptaan sang Maha Kuasa.

3. Curigo (Waspada)


Didunia kita pasti tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita beberapa detik, menit atau jam kedepan.

Dengan sikap waspada ini maka kita diharapkan bisa selalu waspada akan gerak dan segala tingkah laku kita agar kejadian yang akan datang tidak menjadikan penderitaan pada diri kita sendiri.
Curigo juga bisa diartikan dengan Eling terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena Beliau lah yang menciptakan masa lalu, masa sekarang dan masa depan kita.

4. Turonggo (Kuda)


Untuk dapat mengendalikan kuda disaat kita menungganginya, maka tali kendali yang harus kita pegang erat.

Dalam kehidupan pengendalian diri akan segala nafsu dan ego harus kita kendalikan. Bukan dengan mengumbar nafsu, ego dan angkara murka.

5. Wismo (Rumah)


Rumah, setiap kali kita pergi pasti akan kembali kerumah. Dari sini diartikan kita hidup didunia ini hanya keluar sebentar dari rumah kita yang sebenarnya, dan suatu saat pasti akan kembali ke rumah abadi kita yaitu rumah Tuhan. Dan kita selagi didunia harus tahu apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh untuk-NYA agar kita lebih disayang oleh Beliau.

Rabu, 15 Juni 2011

Islam Agama Yang Ekslusif BUKAN Inklusif

Islam hadir dengan karakter ekslusif yang kental untuk urusan keyakinan, tidak ada toleransi pada domain ini – hitam dan putih – dan “menuntut” loyalitas total dari hambanya.
Ciri khas tersebut tergambar jelas pada kalimat La Ilaha Illallah. Dimulai dengan “menafikan” sesuatu, kemudian menerima yang lainnya. “Laa Ilaha = Tiada tuhan = menafikan, kemudian Illallah = Selain Allah”. Jika seorang memutuskan memeluk Islam, ia harus menafikan segala sesuatu yang akan “mencederai” keimanannya, kemudian mengakui sepenuhnya Allah sebagai Tuhannya!
Sikap umat Islam yang berpegang teguh dengan keyakinannya, sering menuai banyak cemooh sebagai kaum yang “tidak toleran, kaku, tidak moderen, kolot dan seterusnya”. Boleh saja, silahkan toh itu pendapat sendiri. Namun, jika anda seorang yang punya prinsip, anda akan mengerti.
Ada dua gelombang pemikiran besar yang sering berhadapan dimasa kini, “pemikiran Islam” vs “pemikiran modern (liberal, barat dan sebagainya)”. Islam sering di evaluasi dengan norma modern, hasilnya sebagian penilai sering menemukan ketidak-cocokan diantara keduanya. Dimata mereka Islam hadir dengan wajah manusia purba yang lebih pantas hidup di era 500M – bukan masa sekarang – kecuali jika mau kembali kejaman doeloe.
Sikap tunduk patuh seorang Muslim kepada Rabbnya, merupakan satu dari sekian ajaran Islam yang membuat gerah manusia “modern”. Padahal, sekali lagi, sebenar-benarnya iman adalah iman yang total, bukan setengah-setengah apalagi coba-coba. Oleh karenanya, sekali mengucap dua kalimat Sahadah, tidak ada celah sedikitpun diberikan untuk kembali kafir. Kenapa? Simpel saja, agar manusia tidak seenaknya keluar-masuk & gonta-ganti agama. Di mata Islam, keyakinan merupakan hal sangat penting. Jika, diagama lain tidak masalah, di agama Islam merupakan kasus sangat besar.
Islam mengenal kebebasan memeluk agama (al-Baqarah [2] ayat 256. Mungkin hanya Islam satu-satunya yang memiliki bukti itu), NAMUN ia tidak mengenal kebebasan keluar-masuk dan gonta-ganti agama. Jika anda tipe manusia yang siang kepingin beriman, sore kepingin kembali kafir, malam beriman lagi, esok pagi ingin kafir lagi…maka berfikir 1 juta kali untuk masuk Islam, karena ini bukan AJARAN COBA-COBA!
Sinkretisme, pluralisme, liberalisme dan “campur sari” tidak dikenal dalam agama Islam. Usaha menyatukan aliran-aliran tersebut dengan Islam akan langsung menemui kegagalan, cukup dihadapkan dengan arti dari nama Islam sendiri, yakni TUNDUK DAN PATUH. Lalu mungkinkah sebuah aliran yang mengamarkan umatnya untuk tunduk pula patuh dicampur dengan aliran lain?
Dahulu beberapa orang memberi julukan “asbak” bagi yang “merokok merk apapun”. Julukan yang tidak enak, artinya si dia dikasih rokok apa saja masuk, merk rokok A, B dan C dihisap. Jika seorang mengaku Muslim, namun juga percaya hal-hal yang tidak di ajarkan, bahkan dilarang Islam, maka ia tidak ubahnya seperti ASBAK.
Thanks but no thanks, Isyahadu Bi Anaa Muslimin! Maka saksikanlah bahwa saya adalah seorang Muslim bukan ASBAK!

Sabtu, 11 Juni 2011

متاع الحياة وخطره على الأخلاق

إن أخطر شيء على أخلاق الناس هو هذه الدنيا بمتاعها ومغرياتها، الدنيا بزخارفها وشهواتها من النساء والبنين، والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة، والخيل المسومة (تمثلها الآن السيارات الفارهة بمختلف أصنافها وألوانها) والأنعام والحرث.

إن الغلو في حب الدنيا هو رأس كل خطيئة، والتنافس عليها أساس كل بلية. من أجل متاع الدنيا يبيع الأخ أخاه. ومن أجل متاع الدنيا يقتل الابن أباه، ومن أجلها يخون الناس الأمانات وينكثون العهود، ومن أجلها يجحد الناس الحقوق، وينسون الواجبات، ومن أجلها يبغي الناس بعضهم على بعض ويعيشون كسباع الغابة أو أسماك البحار، يفترس القوي الضعيف، ويلتهم الكبير الصغير، من أجل شهوات الدنيا ومفاتنها يغش التجار ويطففون، ويتجبر الرؤساء ويستكبرون، ويجور القضاة ويرتشون، ويطغى الأغنياء ويترفون، وينافق ضعفاء النفوس ويتزلفون. 
من أجل الدنيا يكتم العالم ما يعلم أنه الحق، ويفتى بما يعتقد أنه الباطل.
من أجل الدنيا يروِّج الصحفي الكذب والزور، ويخفي الحقائق وهي أوضح من فلق الصبح.
من أجل الدنيا يهجو الشاعر كل حليم رشيد، ويزف عرائس المديح إلى كل سكير وعربيد.
من أجل الدنيا تسفك الدماء، وتستباح الحومات، وتداس القيم، ويباع الدين والشرف والوطن والعرض وكل معنى أنساني كريم.
كل هذا من أجل الدنيا ومتاع الدنيا وشهوات الدنيا: من أجل امرأة أو كأس أو عمارة أو قطعة أرض أو منصب يصغر أو يكبر، أو دنانير تقل أو تكثر، أو حظوة لدى رئيس، أو شهرة بين الناس، أو غير ذلك من هم البطن، وشهوة الفرج، وحب الجاه والمال، وشهوة السيطرة والاستعلاء.

جل إن حب الحياة والأمل فيها جزء من فطرة الإنسان، ولولا ذلك ما عمرت الأرض، ولا ترعرعت شجرة الحياة، فلم يكن مما ينافي الحكمة أن يزين للناس حب الشهوات، ولكن الخطر كل الخطر أن يستغرق الناس في حب الدنيا وطول الأمل فيها، وأن تكون هذه الحياة القصيرة أكبر همهم، ومبلغ علمهم، ومنتهى آمالهم، شأن أولئك الذين لا يرجون لقاء الله ولا يؤمنون بيوم الحساب. وأولئك الذين يؤمنون بالآخرة ولكنهم عنها مشغولون ولها ناسون، ولهذا علمنا رسول الإسلام أن ندعو الله فنقول: "اللهم لا تجعل الدنيا أكبر همنا ولا مبلغ علمنا".
إنه لابد من حب آخر وأمل آخر، أقوى من حب الحياة الدنيا ومن الأمل فيها، وليس ذلك إلا حب الآخرة والأمل في لقاء الله، والطمع في مثوبته ورضوانه، والخوف من حسابه وعذابه. إن هذه المعاني من الحب والأمل والطمع والخوف هي العواصم المنجية من أخطار المحبة للدنيا والحرص عليها والركون إليها. إنها "صمام الأمن" من خطر الإغراق والإسراف في الإقبال على شهوات الحياة.
وذلك هو دور الإيمان الذي يغمر قلب صاحبه يقينا بالآخرة ورجاء فيما عند الله. ومن هنا تكرر وصف المحسنين والمتقين في القرآن بقوله: (وهم بالآخرة هم يوقنون) (البقرة: 4 بلفظ (وبالآخرة هم يوقنون) والنمل: 3، ولقمان: 4) وفي مقابل ذلك قال في شأن الطغاة والمجرمين: (إنهم كانوا لا يرجون حساباً * وكذبوا بآياتنا كذاباً) (النبأ: 27، 28)، وفي مشهد من مشاهد الآخرة يقص علينا القرآن تساؤل المؤمنين في الجنة عن الجرمين في النار: (ما سلككم في سقر * قالوا لم نك من المصلين * ولم نك نطعم المسكين * وكنا نخوض مع الخائضين * وكنا نكذب بيوم الدين) (المدثر: 42 - 46) وقال في شأن فرعون وملئه: (واستكبر هو وجنوده في الأرض بغير الحق وظنوا أنهم إلينا لا يرجعون) (القصص: 39). ولو ظنوا أنهم إلى ربهم راجعون، وعليه معروضون ما أقدموا على ما فعلوا، من الجرائم البشعة، والمذابح الرهيبة، والمظالم القاسية.
إن المؤمن بالله والآخرة هو الذي يستطيع أن يعلو على شهوات الدنيا، وأن يطرح مغرياتها وراء ظهره، وأن يركل متاعها بقدمه ويقول لها ما قال على بن أبي طالب، رضي الله عنه: "إليك عني. يا صفراء يا بيضاء، غري غيري .. إلي تعرضت أم إلي تشوقت؟ قد طلقتك ثلاثاً لا رجعة فيها"! بل يقول ما قاله الرسول عليه الصلاة والسلام حين دخل عليه عمر وهو على حصير قد أثر في جنبه فقال له: يا رسول الله: لو اتخذت فراشاً أوثر من هذا؟ فقال: "مالي وللدنيا؟ ما مثلي ومثل الدنيا إلا كراكب سار في يوم صائف؟ فاستظل تحت شجرة ساعة ثم راح وتركها" (رواه أحمد وابن حبان في صحيحة والبيهقي).
الإيمان وحده هو الذي يعطي المؤمن هدفاً أكبر من الدنيا، ويشده إلى قيم أرفع وأبقى من شهواتها.
الإيمان وحده هو الذي يعطي صاحبه القدرة على مقاومة إغراء الدنيا وفتنتها. إنه قد يملك الدنيا ولكنها لا تملكه، وقد تمتلئ بها يداه، ولكن لا يمتلئ بها قلبه، ذلك أنه يعيش في الدنيا بروح المرتحل: كأنه غريب أو عابر سبيل، ومن عاش في الدنيا بهذه الروح فلا خوف عليه من امتلاك القناطير المقنطرة من الذهب والفضة، إنه يحيا في الدنيا بقلب أهل الآخرة، ويمشي وقدمه في الأرض، وقلبه موصول بالسماء.
المؤمن وحده هو الذي امتلأ يقيناً بأن الدنيا لا تزن عند الله جناح بعوضه، وأنها قنطرة عبور إلى الحياة الباقية، وأن ركعتين خاشعتين لله عند الله خير من الدنيا وما فيها، وأن غدوة أو روحة في سبيل الله خير من الدنيا وما فيها، وأن موضع قدم الإنسان في الجنة خير من الدنيا وما فيها. وحسب المؤمن أن يعلم أن أنبياء الله ورسله وأولياءه عاشوا في الدنيا معذبين مضطهدين وأن أعداءه وأعداء رسله من الكفرة والمكذبين والملحدين كثيراً ما عاشوا منعمين مترفين.
(ولولا أن يكون الناس أمة واحدة لجعلنا لمن يكفر بالرحمن لبيوتهم سقفاً من فضة ومعارج عليها يظهرون * ولبيوتهم أبواباً وسرراً عيها يتكئون * وزخرفاً، وإن كل ذلك لما متاع الحياة الدنيا، والآخرة عند ربك للمتقين) (الزخرف: 33 - 35).
ليس معنى هذا أن يقعد المؤمن عن السعي في الحياة، أو يحرم على نفسه طيباتها، أو يدع عجلتها لقيادة الكفار والفجار.
كلا، إنه مأمور أن يعمر الدنيا، وأن ينميها ويرقيها، مأمور أن يمشي في مناكب الأرض ويأكل من رزق الله فيها، وينعم بطيباتها، ويسخرها لخدمة رسالته وعقيدته. وأن يكون فيها سيداً لا عبداً.
إن الاستعلاء على متاع الدنيا والاستكبار على شهواتها ومغرياتها، ليس معناه أبداً تحريم طيباتها، أو تعطيل مصالحها، أو تعويق سيرها، إنما المقصود أن تكون الآخرة مراد المؤمن وغاية سعيه، فلا يكون ممن يريد حرث الدنيا، ممن يريد العاجلة ... ممن وصفه القرآن بأنه (طغى * وآثر الحياة الدنيا) (النازعات: 37، 38)، وخاطب الرسول في شأنه بقوله: (فأعرض عن من تولى عن ذكرنا ولم يرد إلا الحياة الدنيا * ذلك مبلغهم من العلم) (النجم: 29، 30).
بل يجب أن يكون المؤمن ممن أراد الآخرة وسعى لها سعيها، واتخذ الدنيا وسيلة لا غاية، وممراً لا مقراً. إن الذي لا يوقن بالآخرة يقيناً جازماً، يصعب فطامه عن شهواته، وصرفه عن مجونه ولذاته، لأنه لا يرضى أن يبيع لذة حاضرة يقينية، من أجل لذة آجلة مشكوك في وقوعها عنده.
فلا نعجب إذا سمعنا مثل عمر الخيام يقول ما ترجمته بالعربية:
قالوا: امتنع عن شرب بنت الكروم     فإنها تورث نار الجحيــم!
 ولذتي في شـربهــا سـاعــة              تعدل في عيني جنان النعيم!
 ويقول:
أين النديم السمح؟ أين الصبوح؟    فقد أمض الهم قلبي الجريح!
  ثـلاثـــة هـن أحب المنى             كأس وأنغام ووجه صبيح!
وإنما قال هذا الرجل ما قال، لغلبة شكه على يقينه، ولو أيقن بالآخرة حقاً، لهانت الكأس والأنغام والوجه الصبيح وهانت الدنيا كلها، في جنب ثواب الله تعالى ورضوانه.
إن الإيمان قوة قاهرة غلابة، أقوى من الغرائز والشهوات، وأقوى من سلطان العادات، وأقوى من كل المؤثرات
عن كتاب "الإيمان والحياة"، د. يوسف القرضاوي.
     

أسرار الصيام

الحمد لله ، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، ومن اتبعه إلى يوم الدين، وبعد:
لن نستطيع أن نُدرِك سِرَّ هذا الصوم إلا إذا أدركْنا سِرَّ هذا الإنسان... فَما الإنسان وما حقيقته؟ هل هو الجُثَّة القائمة وهذا الهَيكل المُنْتَصِب؟ هل هو هذه المجموعة مِن الأجهزة والخَلايَا واللحْم والدَّمِ والعظْم والعصَب؟ إن كان الإنسان هو ذلك فما أحقَره وما أصغرَه!!
نعم... ليس الإنسان هو ذلك الهيكل المحسوس، إنما هو روح سماويٌّ يَسكن هذا الجسم الأرضيَّ. وسِرٌّ مِن الملأ الأعلى في غُلاف مِن الطين! فحقيقة الإنسان هو ذلك اللطيفة الربانية، والجوهرة الروحانية التي أَودَعها الله فيه، بها يَعقِل ويُفكِّر، وبها يَشعُر ويَتَذَوَّق، وبها يُدَبِّر مُلْك الأرض، ويَتطلع إلى مَلكوت السماء، وبها أمَر الله الملائكة أن تَسجُدَ لآدم، لا لِمَا فيه حَمَأٍ مَسْنُون، وطين معجون، "إذ قال ربُّكم للملائِكَة إنِّي خالِق بشَرًا من طين فإذا سَوَّيتُه ونَفَخْتُ فيهِ مِن رُوحي فَقَعُوا لَه ساجِدِينَ" (سورة ص: 71، 72).
ذلكم هو الإنسان؛ رُوح عُلويٌّ وجسد سفلي، فالجسد بَيتٌ، والرُّوح صاحبُه وساكنُه، والجسد مَطِيَّة، والروح راكب مسافر، ولم يُخلَق البيت لنفسه، ولا المطية لذاتها، ولكن البيت لمَصلحة الساكِن، والمَطية لمنفعة الراكب، فما أعجب هؤلاء الآدميين الذين أهملوا أنفسهم وعُنُوا بمساكنهم وجَعَلوا مِن ذواتهم خُدَّامًا لمطاياهم، وأهمَلوا أرواحهم وعبَدوا أجسادهم، فللجسد وحَْدَه يعملون، ولإشباع غرائزه الدنيا ينشطون، وحول بطونهم و فروجهم يدورون، نشيدهم الدائم قول القائل:
إنَّمَا الدنيا طَعام وشراب ومَنام      فإذا فاتَكَ هذا فعلى الدنيا السلام
 
ولئك الذين وصفهم الله بقوله: "أرأَيتَ مَنِ أتَّخَذ إِلَهَهُ هَواه أَفَأَنتَ تكونُ عليهِ وَكِيلاً أَمْ تَحسَب أنَّ أكثرَهم يَسمَعُون أو يَعقِلون إِنْ هم إلاَّ كالأنعامِ بَلْ هم أضلُّ سبيلاً" (الفرقان: 43، 44). ذلكم هو الإنسان رُوح وجسد، فللجَسَدِ مَطَالبٌ مِن جِنْس عالَمِه السُّفْليِّ، وللرُّوح مَطالب مِن جنس عالمها العلويِّ، فإذا أَخضَع الإنسانُ أشواقَ رُوحه لمطالبَ مِن جِنس غَريزته في عقله، استَحال مِن مَلاَك رحيم إلى حيوان ذميم إلى شيطان رجيم، هذا الذي ناداه الشاعر المؤمن:
يا خادم الجسم كم تسعى لخدمته           أتطلب الربح مما فيه خسران؟
أقبل على النفس واستكمل فضائله     فأنت بالنفس لا بالجسم إنسان
أمَّا إذا عرَف الإنسان قيمة نفسه، وأَدرك سِرَّ الله فيه، وحَكَّم جانبه السماوي في جانبه الأرضي، وعُنِيَ بالراكب قبل المَطِيَّة، وبالساكن قبل الجُدران، وغَلَّب أشواق الرُّوح على نوازع الجسد. فقد صار مَلاَكًا أو خيرًا من المَلاك "إنَّ الذين آمَنُوا وعمِلوا الصالحات أولئك هم خَيْرُ البَرِيَّة" (البينة: 7).
ومِن هُنَا فرَض اللهُ الصيام لِيَتَحرَّر الإنسان مِن سلطان غرائزه، ويَنْطَلِقُ مِن سِجْن جَسَده، ويَتغلب على نزعات شهوته، ويَتحكم في مظاهر حيوانيته، ويَشتبه بالملائكة، فليس عجيبًا أن يَرتقي رُوحُ الصائم ويَقترب مِن المَلَأ الأعلى، ويَقرَع أبوابَ السماء بدعائه فتُفتَح، ويَدعو ربه فيستجيب له، وينادِي فيقول: لبَّيْك عَبدِي لبَّيْك، وفي هذا المعنى يقول النبي ـ صلى الله عليه وسلم: "ثلاثة لا تُرَدُّ دعوتهم: الصائم حتى يُفطِر، والإمام العادِل، ودعوة المَظلوم..." (رواه الترمذي وحسَّنَه، وأحمد وابن ماجة وابن خُزَيْمَة وابن حِبَّانَ في صحيحيهما)
والله أعلم.
 موقع القرضاوي

Jumat, 03 Juni 2011

الذنوب.. زلازل القلوب



كثير من الناس لا يكادون يعرفون من المعاصي والذنوب إلا ما يدركه الحس، وما يتعلق بالجوارح الظاهرة، من معاصي الأيدي والأرجل، والأعين والآذان، والألسنة والأنوف، ونحوها مما يتصل بشهوتي البطن والفرج، والغرائز الدنيا للإنسان.


ولا يكاد يخطر ببال هؤلاء: الذنوب والمعاصي الأخرى التي تتعلق بالقلوب والأفئدة، والتي لا تدخل -فيما تراه الأبصار- أو تسمعه الآذان، أو تلمسه الأيدي، أو تشمه الأنوف، أو تتذوقه الألسنة.


معاصي الجوارح

في القسم الأول تقع معاصي العين من النظر إلى ما حرم الله من العورات، ومن النساء غير المحارم. ومعاصي الأذن من الاستماع إلى ما حرم الله من آفات اللسان؛ فالمستمع شريك المتكلم.

ومعاصي اللسان من الكلام بما حرم الله من الآفات التي بلغ بها الإمام الغزالي عشرين آفة؛ من الكذب والغيبة والنميمة والسخرية واليمين الفاجرة والوعد الكاذب والخوض في الباطل والكلام فيما لا يعني، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات، وشهادة الزور والنياحة واللعن والسب... إلخ.

ومعاصي اليد من البطش والضرب بغير حق، والقتل، ومصافحة أعداء الله، وكتابة ما لا يجوز كتابته، مما يروج الباطل أو يشيع الفاحشة، وينشر الفساد. ومعاصي الرجل من المشي إلى معصية الله، وإلى زيارة ظالم أو فاجر، ومن السفر في إثم وعدوان. ومعاصي الفرج من الزنا وعمل قوم لوط، وإتيان امرأته في دبرها، أو في المحيض، وهو أذى كما قال الله.

ومعاصي البطن من الأكل والشرب مما حرم الله، مثل أكل الخنزير، وشرب الخمر، وتعاطي المخدرات، وتناول التبغ (التدخين) وأكل المال الحرام من الربا، أو الميسر، أو بيع المحرمات، أو الاحتكار، أو قبول الرشوة أو غيرها من وسائل أكل مال الناس بالباطل.

المعاصي المهلكة

وهذه الأعمال كلها محرمات ومعاص معلومة، وبعضها يعتبر من عظائم الآثام، وكبائر الذنوب، ولكنها جميعًا تدخل في المعاصي الظاهرة، أو معاصي الجوارح، أو ظاهر الإثم، والمسلم مأمور أن يجتنب ظاهر الإثم وباطنه جميعًا، كما قال تعالى: {وَذَرُوا ظَاهِرَ الإِثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ} [الأنعام: 120].

بل إن المعاصي الباطنة أشد خطرًا من المعاصي الظاهرة، وبعبارة أخرى: معاصي القلوب أشد خطرًا من معاصي الجوارح، كما أن طاعات القلوب أهم وأعظم من طاعات الجوارح؛ حتى إن أعمال الجوارح كلها لا تقبل إلا بعمل قلبي، وهو النيِّة والإخلاص.

ونقصد بمعاصي القلوب ما كانت آلته القلب؛ مثل: الكبر، والعجب، والغرور، والرياء، والشح، وحب الدنيا، وحب المال والجاه، والحسد، والبغضاء، والغضب... ونحوها مما سماه الإمام الغزالي في "إحيائه": المهلكات، أخذًا من الحديث الشريف: "ثلاث مهلكات: شح مطاع، وهوى متبع، وإعجاب المرء بنفسه".

وإنما اشتد خطر هذه المعاصي والذنوب لعدة أمور:

أوَّلها: أنها تتعلق بالقلب، والقلب هو حقيقة الإنسان؛ فليس الإنسان هو الغلاف الجسدي الطيني الذي يأكل ويشرب وينمو، بل هو الجوهرة التي تسكنه، والتي نسميها: القلب أو الروح أو الفؤاد، أو ما شئت من الأسماء. وفي هذا قال عليه الصلاة والسلام: "ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله؛ ألا وهي القلب .وقال: "إن الله لا ينظر إلى أجسامكم وصوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
وجعل القرآن أساس النجاة في الآخرة هو سلامة القلب، كما قال تعالى على لسان إبراهيم: {وَلاَ تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ * يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ * إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ} [الشعراء: 87-89].

وسلامة القلب تعني: سلامته من الشرك جليه وخفيه، ومن النفاق أكبره وأصغره، ومن الآفات الأخرى التي تلوثه، من الكبر والحسد والحقد، وغيرها. وقال ابن القيم: "سلامته من خمسة أشياء؛ من الشرك الذي يناقض التوحيد، ومن البدعة التي تناقض السنة، ومن الشهوة التي تخالف الأمر، ومن الغفلة التي تناقض الذكر، ومن الهوى الذي يناقض التجريد والإخلاص".

ثانيها: أن هذه الذنوب والآفات القلبية هي التي تدفع إلى معاصي الجوارح؛ فكل هذه المعاصي الظاهرة إنما يدفع إليها: اتباع الهوى، أو حب الدنيا، أو الحسد، أو الكبر، أو حب المال والثروة، أو حب الجاه والشهرة... أو غير ذلك.

حتى الكفر نفسه، كثيرًا ما يدفع إليه الحسد كما حدث لليهود؛ فقد قال تعالى: {وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ} [البقرة: 109].

أو يدفع إليها الكبر والعلو في الأرض، كما قال تعالى عن فرعون وملئه وموقفهم من آيات موسى u: {وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ} [النمل: 14].

أو حب الدنيا وزينتها، كما رأينا ذلك في قصة هرقل ملك الروم، وكيف تبين له صدق الرسول في دعوته، وصحة نبوته، ثم لما هاج عليه القسس غلب حب ملكه على اتباع الحق؛ فباء بإثمه وإثم رعيته.

وإذا نظرت إلى من يقتل نفسًا بغير حق وجدت وراءه دافعًا نفسيًّا أو قلبيًّا، من حقد أو غضب، أو حب الدنيا؛ حتى إن أول جريمة قتل في تاريخ البشرية كان سببها الحسد، وذلك في قصة ابني آدم {إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ} [المائدة: 27] إلى أن قال تعالى: {فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [المائدة: 30].

وكذلك كل من ارتكب معصية ظاهرة من شهادة زور أو نميمة أو غيبة أو غيرها؛ فلا بد أن وراء تلك المعاصي شهوة نفسية، وفي هذا جاء الحديث: "إياكم والشح؛ فإنما هلك من كان قبلكم بالشح، أمرهم بالبخل فبخلوا، وأمرهم بالقطيعة فقطعوا، وأمرهم بالفجور ففجروا"


ثالثها: أن المعاصي الظاهرة التي سببها ضعف الإنسان وغفلته سرعان ما يتوب منها، بخلاف المعاصي الباطنة التي سببها فساد القلوب، وتمكن الشر منها؛ فقلما يتوب صاحبها منها، ويرجع عنها. وهذا هو الفارق بين معصية آدم، ومعصية إبليس. معصية آدم كانت معصية جارحة حين أكل من الشجرة، ومعصية إبليس كانت معصية قلب، حين أبى واستكبر، وكان من الكافرين.

معصية آدم كانت زلة عارضة نتيجة النسيان وضعف الإرادة، أما معصية إبليس فكانت غائرة متمكنة، ساكنة في أعماقه.

لهذا ما أسرع ما أدرك آدم خطأه واعترف بزلته، وقرع باب ربه نادمًا تائبًا هو وزوجته: {قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [الأعراف: 23]. أما إبليس فاستمر في غلوائه، متمردًا على ربه، مجادلاً بالباطل، حين قال له: {يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ * قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ} [ص: 75، 76]. ولهذا كانت عاقبة آدم: {فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ} [البقرة: 37].

وكانت عاقبة إبليس: {قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ * وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ} [ص: 77، 78].

رابعًا: وهذه ثمرة للوجوه السابقة، وهو تشديد الشرع في الترهيب من معاصي القلوب، وآفات النفوس لشدة خطرها، كما في قوله عليه الصلاة والسلام: "لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر"

 وقوله: "دب إليكم داء الأمم من قبلكم: الحسد والبغضاء، والبغضاء هي الحالقة، لا أقول تحلق الشعر، ولكن تحلق الدين"

وقوله: "لا تغضب" وكررها ثلاثًا، لمن قال له: أوصني

وقوله في الحديث القدسي: "أنا أغنى الشركاء عن الشرك؛ فمن عمل عملاً أشرك فيه غيري تركته وشركه"  وقوله: "إياكم والشح؛ فإنه أهلك من كان قبلكم حملهم على أن سفكوا دماءهم، واستحلوا محارمهم "

 موقع القرضاوي

Mengapa Seorang Muslim Harus Kaya ?

Ibn Umar ra berkata, bersabda Rasulullah Saw :
“Tiada boleh seorang iri hati terhadap orang lain, kecuali dalam dua hal; seorang yang diberi pengertian Quran, maka ia mempergunakannya sebagai pedoman amalnya siang malam, dan seseorang yang diberi oleh Allah kekayaan harta dan ia membelanjakannya siang dan malam untuk segala amal kebaikan” (HR Bukhari – Muslim)
Rasulullah SAW dan kebanyakan sahabat, sebenarnya bukanlah orang-orang miskin. Mereka memang sengaja memilih untuk hidup zuhud. Ya, zuhud sangat berbeda sekali dengan miskin, karena sekarang ini banyak muslim yang salah dalam memahaminya. Zuhud adalah meninggalkan dunia karena pilihan sendiri, sedangkan miskin adalah ditinggalkan oleh dunia, tak punya kekuatan harta, dan lebih buruk lagi jika bermental peminta.
Rasulullah dan para sahabat, mereka adalah orang-orang dermawan yang rutin bersedekah. Memberikan sedekah secara rutin dan berkala menunjukkan bahwa mereka mempunyai penghasilan rutin dan berkala serta tak terputus. Muhammad SAW sejak umur 16 sudah menjadi pedagang internasional dan dengan kekayaannya (dengan mahar 20 ekor unta dan 12 uqyah emas) beliau melamar Khadijah yang juga seorang pengusaha kaya raya, Abdurrahman bin auf sangat kaya raya dan dijamin masuk surga karena jumlah sedekahnya yang tak terhitung demi perjuangan islam, Abu Bakar juga seorang pedagang yang dengan kekayaannya memerdekakan Bilal bin Rabah, Sa’ad bin Waqqash juga mempunyai harta sampai-sampai emas menggunung di rumahnya dan menjelang wafat ia bahkan ingin menyumbangkan seluruh hartanya itu. Terbukti bukan ? sebenarnya mereka bukan orang miskin…
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari api neraka, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya” (QS. Al-Lail,92 : 17-18)
Dari kisah kedermawanan sahabat sebetulnya kita bisa lihat bahwa kaya bagi seorang muslim sangat dianjurkan, sementara gaya hidup adalah sebuah pilihan. Lagipula dengan alasan apapun, islam menolak penyakit kemiskinan. Miskin membuat umat ini mudah sekali menyerahkan kehormatan dan aqidahnya. Mudah berhutang, mudah tergantung, mudah tunduk atau membuatnya menjadi peminta-minta. Padahal Rasul mengajarkan bahwa tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah.
Rasulullah SAW juga mengajarkan umatnya untuk berdoa agar terhindar dari jeratan hutang selain rasa lemah dan malas :
“ Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari rasa gelisah dan sedih dan aku berlindung kepadaMu dari rasa lemah dan malas dan aku berlindung kepadaMu dari sifat pengecut dan kikir dan aku berlindung kepadaMu dari belitan hutang dan penindasan orang” (HR.Abu Dawud)
Ibnu Abid Duni menjelaskan beberapa alasan tentang mengapa kita semua diperintahkan menjadi kaya dalam islam :
Alasan pertama, karena HARTA adalah TULANG PUNGGUNG KEHIDUPAN. Mungkinkah, bisa hidup normal di era sekarang ini begitu kita tak memiliki harta ? menafkahi keluarga, agar anak-anak bisa makan makanan bergizi demi pertumbuhan optimalnya, menyekolahkan nya demi menuntut ilmu yang bermanfaat, atau membiayai pengobatan jika terpaksa harus ke rumah sakit. Semuanya, adakah yang gratis ? tentu saja Allah membebani seseorang sesuai kesanggupannya dan sangat pasti Ia memberikan rizkiNya, tapi bukankah kita juga harus mengusahakannya ?
Alasan kedua, peredaran KEKAYAAN adalah INDIKATOR KESALEHAN atau KEBURUKAN MASYARAKAT. Yahudi yang jumlahnya hanya sekitar 15 juta jiwa, bisa mempengaruhi kebijakan penguasa-penguasa dunia…karena mereka kaya dan menguasai sistem ekonomi global ! Mari kita bayang kan seandainya penguasaan atas amanat kekayaan dimuka bumi ini ada di tangan 1,5 milyar muslim yang saleh dan amanah…!
Alasan ketiga, terlalu banyak PERINTAH SYARIAH yang HANYA BISA DILAKSANAKAN DENGAN HARTA yang cukup. Dari 5 rukun islam, zakat dan haji harus menggunakan uang. Jihad juga menggunakan uang. Menyantuni anak yatim menggunakan uang. Menyumbang atau menidirikan pondok pesantren penghafal Al-Qur’an juga perlu harta. Mendirikan rumah baca gratis di pemukiman yang rendah pendidikannya juga menggunakan uang…
masya Allah..
wallahu’alam bishowab